Pendapat: Fakta Kenapa Penetrasi E-commerce di Asia Tenggara Rendah


Tingkat pemakaian service e-commerce di beberapa negara berkembang dalam benua Asia tidak secepat prediksi. Cost untuk memperoleh traffic ke situs situs berasa mahal, tingkat konversi pemakai jadi konsumen setia berjalan lamban, konsumen setia begitu susah didapatkan.

Keadaan ini berlainan dengan tingkat penetrasi internet yang cukuplah tinggi, seperti di Myanmar (delapan puluh %) atau Indonesia (tujuh puluh %). Beberapa pemakai smartphone di Asia ikut condong habiskan semakin banyak waktu di sosial media daripada beberapa masyarakat Amerika Serikat.

Dengan kemunduran Sears yang tinggal nantikan waktu, saya jadi terpikir jika sebetulnya ada sebabnya rasional kenapa tingkat pemakaian e-commerce di Asia lebih lamban dari prediksi banyak pihak. Saya fikir tidak pernah ada yang membahas karena ini.

Sejumlah besar negara di Asia tidak mempunyai service pembelian lewat katalog pesanan. Beberapa orang di Amerika Serikat sudah lama beli barang lewat katalog pesanan Sears saat lebih dari seratus tahun semenjak praktek ini pertama-tama diawali.

Rumor keyakinan

Masalah penting industri e-commerce di beberapa negara berkembang ialah segi keyakinan. Beberapa masyarakat beberapa negara itu susah memercayai jika barang yang dibeli akan datang serta berkualitas sama dengan yang digambarkan.

Di Indonesia, lebih dari sepertiga responden dari 1.800 orang yang disurvei MARS Indonesia mengakui tidak yakin pada penjual online. Hasil survey di Myanmar memberikan indikasi sejumlah besar orang lebih senang lihat barang dengan cara langsung sebelum beli, sebab mereka tidak memercayai penjualnya.

Salah satunya sumber tidak percaya ini bisa saja karena pengalaman berjumpa dengan penjual nakal. Perumpamaannya, saat beli satu barang, beberapa penjual di Myanmar serta Bangladesh akan buka kotak kemasannya di depan konsumen, hingga dia dapat pastikan jika barang yang akan dibeli memang asli serta sesuai dengan gambaran.

Rutinitas itu bukan sekedar berlangsung di beberapa toko fisik. Semua aktor e-commerce di lokasi ini tawarkan pilihan cash on delivery. Saat saya beli iPhone dengan online di Myanmar, kurir yang mengantar pesanan ikut buka kotak kemasannya di depan saya saat barang tiba di tujuan.

Permasalahan penting yang jadi pemicu tidak percaya ini ialah keengganan untuk yakini ide beli barang tak perlu bertatap muka, dan memercayai jika barang yang dipesan akan sesuai dengan gambaran saat datang di arah. Permasalahan ini terlihat jelas pada pertanyaan-pertanyaan yang terlihat di situs service konsumen setia:

  • “Di manakah saya dapat lihat langsung barangnya?” 
  • “Ke manakah saya mesti mengambilnya?” Serta 
  • Tantangan-tantangan logistik yang lain. 

Seseorang teman dekat yang menjalankan basis e-commerce menceritakan jika step pertama dalam proses logistik yang dikerjakannya ialah menelepon setiap konsumen. Hal tersebut dikerjakan untuk pastikan jika beberapa konsumen tidak salah pesan barang, atau cuma “iseng mengklik tombol-tombol di internet”.

Kita tidak dapat mempersalahkan beberapa konsumen, mereka baru terkena ide e-commerce semenjak beberapa waktu kemarin. Permasalahan ini lebih gampang dipahami jika kamu mengerti jika mereka tidak terlatih terima paket yang diantar langsung ke rumah semasing.

Perlu lima generasi untuk belajar yakin

Di lainnya pihak, beberapa orang Barat telah terlatih pesan barang serta terima kiriman paket dari rumah semasing. Menjadi orang yang lahir di masa 1980-an, saya ingat saat-saat dimana internet baru akan jadi popular.

Saya tersambung ke internet dengan memakai modem 28K (masih tetap ingat nada khasnya?), serta jaringan telephone di dalam rumah jadi tidak dapat dipakai oleh penghuni yang lain. Gambar-gambar dalam situs internet akan tampil dengan perlahan-lahan dari sisi bawahnya. Dengan koneksi semacam itu, janganlah berharap dapat belanja dengan online.

Walau berbelanja online belumlah sangat mungkin, akan tetapi saya nikmati beberapa katalog pesanan untuk mainan, peralatan rumah tangga, serta hampir semua type barang yang sekarang ini dapat dibeli dengan online. Dahulu saya mesti pilih barang yang diharapkan dari katalog, isi formulir pesanan, lantas mengirimkannya melalui pos ke perusahaan penerbit katalog.

Satu minggu lalu, pesanan itu akan datang di dalam rumah. Sayangnya saya tidak ingat bagaimana orangtua kami membayar pesanan tersebut—mungkin melalui pendebitan rekening?

Perusahaan-perusahaan penerbit katalog pesanan di Barat telah beroperasi semenjak jaman dulu:

  • Royal Welsh Warehouse (Inggris): 1861 
  • Sears (Amerika Serikat): 1888 
  • LaRedoute (Perancis): 1922 
  • Otto (Jerman): 1949 
  • Wehkamp (Belanda): 1952 
Beberapa orang Barat miliki waktu yang begitu lama untuk perlahan belajar memercayai skema logistik yang penuhi keperluan berbelanja semasing.

Contoh riil pergantian dari skema katalog ke e-commerce ialah situs situs Amazon yang menyebutkan dianya menjadi katalog online pada 1995 kemarin. Di luar ide pembayaran online yang perlu waktu supaya jadi cukuplah aman untuk dipakai banyak orang, ide pesan barang dari katalog benar-benar tidak berasa asing waktu usaha e-commerce baru muncul.

Hari esok e-commerce di Asia

Belakangan ini ada dua momen terpenting yang membuat saya tersadar:

  • Kemunduran Sears, serta 
  • Amazon akan melaunching katalog mainan vs bikin untuk menyongsong musim berlibur akhir tahun. 
Sears mulai buka toko fisik pada 1925, serupa perusahaan-perusahaan di ranah penjualan langsung ke customer yang lain yang saling mencapai sukses (Warby Parker, Bonobos, dan sebagainya). Amazon mengakuisisi Whole Foods di tahun 2017 serta manfaatkan jaringan toko fisiknya untuk memberi dukungan penjualan online (bahkan juga sekarang turut mendistribusikan katalog cetaknya). Penggabungan segi penjualan online serta offline ini pula tercermin dalam ide retail Alibaba yang baru.

Saya bukannya menyarankan aktor e-commerce Asia untuk cetak katalog. Permasalahan penting dalam lokasi ini bukan akses ke customer (tingkat penetrasi smartphone cukup sudah tinggi), tetapi keyakinan beberapa masyarakat ke skema logistik yang ada. Buat saya, keseluruhnya keadaan yang berada di Asia membuat usaha online-to-offline bertambah berkaitan, seperti yang dikerjakan Kudo di Indonesia serta Deligram di Bangladesh.

Usaha online-to-offline berupaya merangkul beberapa pedagang tradisionil kecil ke “jaringan agen”. Beberapa konsumen bisa pergi ke pedagang yang sudah jadi partner untuk lihat dengan cara langsung, menanyakan, membayar, ambil, serta meretur pesanan yang dikerjakan semasing dengan online.

Saya sebelumnya memandang mode usaha ini tidak lebih dari langkah penghubung yang memiliki biaya mahal, cuma menghabiskan waktu. Tetapi demikian mengerti rumor tidak percaya dalam proses logistik di industri e-commerce Asia—yang tidak sempat berlangsung di Amerika Serikat atau Eropa—saya jadi berfikir kembali.

Saya fikir masih tetap ada rintangan berkaitan cost yang besar pada model-model usaha ini, tetapi semua beres waktu keadaan skema logistik serta pembayaran lebih baik. Menginvestasikan dana untuk memberi dukungan tingkat pemakaian e-commerce di penduduk justru lebih baik daripada menghambur-hamburkan uang untuk beriklan di Facebook.

Di belahan dunia yang lain, ROI dari kegiatan pemasaran digital di sosial media ikut selalu alami penurunan bersamaan perubahan Facebook serta Instagram yang semakin disesaki iklan. ROI ini telah demikian rendah sampai beberapa pengelola brand online sekarang mulai kembali berpromosi di majalah serta tv.

Saya akan tidak bingung jika ada seorang yang akan mencapai sukses dengan meluncurkan service katalog pesanan melalui pos di lokasi Asia. Beberapa produk yang ditawarkannya berisi barang bermerek yang di jual pertama-tama dengan online.

Post a Comment

0 Comments