Bagaimana Perang Subsidi OVO serta GO-PAY di Indonesia Dapat Selesai


Kehidupan masyarakat Indonesia semakin gampang di tengahnya perang akuisisi konsumen setia pada GO-PAY (yang di dukung GO-JEK) serta OVO (yang di dukung Grab serta Tokopedia).
Pertarungan pada ke-2 pihak itu seperti pasangan suami istri yang sudah bercerai, serta sekarang tengah merebutkan hak asuh anak—atau dalam perihal ini, beberapa konsumen setia.

Customer di Indonesia manfaatkan pertandingan ini semaksimal mungkin dengan ambil semua peluang cashback, potongan harga, dan promo yang di tawarkan oleh GO-PAY serta OVO. Cashback 50% untuk bubble tea? Bisa. Naik taksi cuma butuh bayar Rp1? Tentunya. Begitu senangnya jadi customer di Indonesia sekarang ini!

Tapi sebenarnya, baik GO-PAY atau OVO sekarang ini tengah habiskan persediaan uang semasing. Perang di industri pembayaran mobile ini nampaknya belum selesai.

Sampai kapan mereka akan lakukan perihal ini? Saya akui jika taktik akuisisi konsumen setia yang dikerjakan oleh kedua-duanya sekarang ini terlihat tidak sehat.

Subsidi sampai titik darah penghabisan?

Tidak ada angka yang diumumkan dengan luas oleh GO-PAY serta OVO tentang besaran subsidi yang sudah mereka gelontorkan. Jadi mari kita bikin prediksinya.

Dari juta-an order yang diolah GO-JEK serta Grab setiap hari, mungkin setengahnya memakai dompet digital. Kita akan beranggapan jika semua transaksi itu memperoleh subsidi.

Bila besaran subsidinya sekitar Rp4.000-10.000 untuk setiap order, jadi GO-JEK—yang mengaku sudah mengolah 3 juta order per hari—mengeluarkan subsidi sampai Rp15 miliar /hari, atau seputar Rp5,1 triliun per tahun. Walau ke-2 perusahaan dapat menggalang investasi berharga triliunan rupiah, nilai subsidi ini tetap harus adalah cost besar.

Bila mereka ikhlas membakar uang demikian banyak untuk memperoleh konsumen setia, harusnya ada kekuatan begitu menarik yang ingin mereka kejar di pada akhirnya.

Beberapa pihak menyangka jika beberapa super app, seperti Grab serta GO-JEK, selalu meluncurkan program potongan harga sampai bujet salah satunya pihak habis. Pihak yang dapat bertahan akan kurangi subsidi dengan perlahan-lahan, sampai sampai harga keekonomian yang sehat. Taktik ini dapat digunakan oleh pihak yang miliki semakin banyak uang.

Akan tetapi, baik Grab serta GO-JEK saling cukup sudah besar sampai dapat memikul burn rate (cost operasional sebelum perusahaan mendapatkan laba) 1/2 miliar dolar (seputar Rp7 triliun) sekalinya. Saya fikir kedua-duanya tidak akan menyerahkan pertarungan ini demikian saja pada nasib.

Kuasai semua transaksi harian customer

Keadaan dimana perang subsidi akan selesai nampaknya cuma akan terwujud jika pemakaian uang digital semakin meluas.

GO-PAY serta OVO saling menggerakkan terjadinya transaksi di beberapa toko offline melalui penawaran beberapa promo. Super app sebagai simpatisan semasing pun menyiapkan pemesanan online untuk service offline, seperti transportasi on-demand atau layanan pengantaran makanan.

Satu perihal yang belumlah ada dari service yang sudah dikasihkan ialah koneksi balik ke dunia online, hingga lengkapi siklus kegiatan online–offline–online beberapa customer.

Jika tujuan yang akan diraih ialah kuasai semua transaksi harian beberapa customer dengan tawarkan subsidi, jadi jalan lainnya yang dapat ditempuh untuk sampai arah itu yaitu dengan jadikan konsumen setia semakin bergantung dengan uang digital.

Saya tidak sempat isi dompet digital punya pribadi dengan saldo lebih dari Rp700.000, sebab perlu waktu satu minggu untuk habiskan saldo itu. Saya cuma bisa memakainya untuk biaya transportasi serta pengantaran makanan, dan membayar minum dan makan di beberapa toko.


Saya memakai uang tunai atau kartu debet untuk kepentingan transaksi yang lain, misalnya: tagihan restoran, bar, berbelanja bahan makanan, minimarket, serta kepentingan hiburan—hampir semua tidak terima pembayaran dengan uang digital.

Bila sejumlah besar transaksi itu bisa dibayar dengan e-money, jadi saya dengan suka hati akan memakai dompet digital. Hanya sebab service itu lebih praktis.

Mari kita lihat Alipay serta WeChat Pay yang dipakai di Cina. Alibaba serta Tencent sudah lakukan investasi besar pada industri retail offline.

Service retail moderen sudah memberi dukungan beberapa pemilik toko offline—mulai dari toko bertaraf besar sampai warung kecil di tepi jalan. Triknya yaitu dengan menolong mereka mengerti pelanggan-pelanggannya dan memaksimalkan usaha semasing.

Beberapa pemilik toko mendapatkan data bernilai yang dapat menolong mereka berkembang, dari mulai pemasaran dengan tujuan yang begitu spesifik, analisa keberagaman barang yang ada, sampai optimasi harga jual produk.

Alibaba miliki himpunan data mengenai tingkah laku pembelian customer yang besar sekali, dan ketrampilan di bagian rantai supply serta logistik yang dapat memberi dukungan beberapa pemilik toko. Di lainnya pihak, Tencent mengerti rutinitas customer dalam memakai sosial media, dan bertindak menjadi penghubung yang menyiapkan tehnologi diantara toko serta customer.

(Untuk mengerti lebih jauh bagaimana tehnologi retail membuat pasar Cina, baca presentasi yang dibawakan Connie Chan sebagai General Mitra di Andreessen Horowitz.)

Selanjutnya, melanjutkan pertarungan ke ranah offline bermakna beberapa super app itu bisa lakukan monetisasi pada bagian pedagang, ambil faedah dari data yang terkumpul, sekalian mengalirkan subsidi pada service on-demand seaming.
Bagaimana penyedia layanan uang digital bisa melakukan monetisasi pada sisi pedagang dan konsumen.
Di Indonesia, pihak pedagang baru cuma difasilitasi dari bagian pembayaran saja. Walau sebenarnya masih tetap terdapat beberapa nilai lebih lainnya yang dapat dikasihkan pada mereka.

Manajemen kas serta persediaan barang dagangan dapat jadi faedah lainnya yang kemungkinan besar dikasihkan. Ikuti jejak Ling Shou Tong, basis manajemen retail punya Alibaba, saya dapat memikirkan beberapa penyedia basis uang digital di Indonesia pun menyiapkan service supply barang dagangan, referensi penentuan harga, serta aliran pendapatan yang lain seperti pemasangan iklan.

Beberapa pebisnis seperti Moka POS, Warung Pandai, serta Ocean Going telah tawarkan beberapa service yang saya katakan barusan. Mereka punya potensi jadi mitra kuat buat GO-PAY serta OVO untuk memperluas lingkup di kelompok pedagang offline.

Penyedia super app akan menambang data skema transaksi harian yang begitu luas.

Waktu beberapa pedagang mengerti beberapa faedah yang dapat didapat dari e-money, mereka dapat dikasihkan stimulan untuk menggunakan uang digital menjadi cara pembayaran penting (atau hanya satu). Kejadian ini terjadi di Cina.

Bersamaan semakin jumlahnya transaksi offline yang terdaftar dengan online, penyedia super app akan menambang data skema transaksi harian yang begitu luas. Data itu lalu dapat ditranslate jadi bermacam service untuk di tawarkan ke beberapa pedagang offline.

Ketergantungan beberapa customer pada cara pembayaran digital akan semakin bertambah bersamaan pemakaiannya yang meluas. Keadaan ini akan membuat stimulan berkelanjutan untuk lakukan pembayaran dengan digital.

Dengan iterasi siklus semacam ini, super app akan dapat kurangi subsidi dengan perlahan-lahan, dan melakukan perbaikan nilai keekonomian disamping customer.

Tentunya, perubahan pembayaran digital Indonesia dalam dunia riil bisa jadi berlainan dengan skenario yang saya uraikan. Akan tetapi ini dapat jadi salah satunya taktik supaya beberapa aktor pembayaran digital dapat melepas diri dari praktek pemberian subsidi tanpa akhir.

Selanjutnya, siklus O2O di Cina membuahkan duopoli Alipay serta WeChat. Mereka jadi motor penggerak industri pembayaran digital yang berharga US$12,8 triliun (seputar Rp181 kuadriliun) di negeri gorden bambu.

Walau pertarungan pada Alipay serta WeChat Pay masih berjalan seru, pertandingan itu menunjukkan jika beberapa pemain besar di industri e-money dapat eksis berdampingan—setidaknya untuk sekarang ini. Saya mengharap kita dapat lihat pertarungan sama yang lebih bernilai di Indonesia.

Post a Comment

0 Comments